Sebelum tahun 1908
Kabupaten Karangasem merupakan wilayah kerajaan di bawah kekuasaan raja-raja.
Tercatat raja yang terakhir sampai tahun 1908 adalah Ida Anak Agung Gde
Djelantik yang membawahi 21 Punggawa, yaitu Karangasem, Seraya, Bugbug, Ababi,
Abang, Culik, Kubu, Tianyar, Pesedahan, Manggis, Antiga, Ulakan, Bebandem,
Sibetan, Pesangkan, Selat, Muncan, Rendang, Besakih, Sidemen dan Talibeng.
Setelah Belanda
menguasai Karangasem, terhitung mulai tanggai 1 Januari 1909 dengan Keputusan
Gubernur Djendral Hindia Belanda
tertanggal 28 Desember 1908 No. 22, Kerajaan Karangasem dihapuskan dan
dirubah menjadi Gauverments Lanschap Karangasem di bawah Pimpinan I Gusti Gde
Djelantik (Anak angkat Raja Ida Anak Agung Gde Djelantik) yang memakai gelar
Stedehouder. Jumlah kepunggawaan pada saat itu diciutkan dari 21 menjadi 14,
yaitu Karangasem, Bugbug, Ababi, Abang, Kubu, Manggis, Antiga, Bebandem,
Sibetan, Pesangkan, Pesangkan Selat, Muncan, Rendang dan Sidemen.
Dengan Keputusan
Gubernur Hindia Belanda tertanggal 16 Desember 1921 No. 27 Stbl No. 756 tahun
1921 terhitung mulai tanggal 1 Januari 1922, Gouvernements Lanschap Karangasem
dihapuskan, dirubah menjadi daerah otonomi, langsung di bawah Pemerintahan
Hindia Belanda, terbentuklah Karangasem Raad yang diketuai oleh Regent I Gusti
Agung Bagus Djelantik, yang umum dikenal sebagai Ida Anak Agung Bagus
Djelantik, sedangkan sebagai Sekretaris dijabat oleh Controleur Karangasem.
Sebagai Regent Ida Anak
Agung Bagus Djelantik masih mempergunakan gelar Stedehouder. Jumlah Punggawa
yang sebelumnya berjumlah 14 buah dikurangi lagi sehingga menjadi 8 buah, yaitu
: Rendang, Selat, Sidemen, Bebandem, Manggis, Karangasem, Abang, Kubu. Dengan
Keputusan Gubernur Djendral Hindia Belanda tertanggal 4 September 1928 No. I
gelar Stedehouder diganti dengan gelar Ida Anak Agung Agung Anglurah Ketut
Karangasem.
Dengan Keputusan
Gubernur Djendral Hindia Belanda tertanggal 30 Juni 1938 No. 1 terhitung mulai
tanggal 1 Juli 1938 beliau diangkat menjadi Zelfbesteur Karangasem
(terbentuknya swapraja). Bersamaan dengan terbentuknya Zelfbesteur Karangasem,
terhitung mulai tanggal 1 Juli 1938 terbentuk pulalah Zelfbesteur - Zelfbesteur
di seluruh Bali, yaitu Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan, Jembrana
dan Buleleng, dimana swapraja-swapraja (Zelfbesteur) tersebut tergabung menjadi
federasi dalam bentuk Paruman Agung.
Pada atahun 1942 Jepang
masuk ke Bali, Paruman Agung diubah menjadi Sutyo Renmei. Pada tahun 1946
setelah Jepang menyerah, Bali menjadi bagian dari Pemerintah Negara Indonesia
Timur dan Swapraja di Bali diubah menjadi Dewan Raja-Raja dengan berkedudukan
di Denpasar dan diketuai oleh seorang Raja.
Pada bulan Oktober
1950, Swapraja Karangasem berbentuk Dewan Pemerintahan Karangasem yang diketuai
oleh ketua Dewan Pemerintahan Harian yang dijabat oleh Kepala Swapraja (Raja)
serta dibantu oleh para anggota Majelis Pemerintah Harian. Pada tahun 1951,
istilah Anggota Majelis Pemerintah Harian diganti menjadi Anggota Dewan
Pemerintah Karangasem. Berdasarkan UU No. 69 tahun 1958 terhitung mulai tanggal
1 Desember 1958, daerah-daerah swapraja diubah menjadi Daerah Tingkat II
Karangasem.
Sejarah
Singkat Kota Amlapura
Menurut Pebancangah
Babad Dalem, bahwa semenjak bertahta Raja I Dewa Karang Amla, Wilayah Kota
Amlapura ini disebut Desa Batuaya. Kemudian tahta berganti sampai masa raja Ida
Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem, yang istananya di Puri Amlaraja,
pada saat itu sebutan Karangasem sudah dipakai, yang dalam hal ini dikukuhkan
oleh Piagam Pura Bukit. Dengan bertahtanya Raja Anak Agung Gde Putu dan Anak
Agung Gde Oka, Awig-Awig Desa Batuaya diubah menjadi Awig-Awig Amlapura.
Kemudian dibawah pemerintahan Anak Agung Gde Jelantik, sebutan Wilayah Kota
Amlapura ini kembali disebut Karangasem sebagai suatu pusat pemerintahan.
Dengan Keputusan Mentri
Dalam Negeri (Mendagri) tertanggal 28
November 1970 No. 284 tahun 1970, terhitung mulai tanggal 17 Agustus 1970, Ibu
Kota Karangasem
diubah menjadi
Amlapura, kembali sebagai nama Kerajaan Karangasem yang bertahta di Kota Karang
Amla (Amla berarti Asem).
Riwayat
Singkat Lahirnya Nama Amlapura
Pada saat itu semenjak
terjadi penyerahan kekuasaan kerajaan Karangasem dari pemegang tampuk kekuasaan
Raja Batuaya kepada pihak Puri Karangasem, merupakan masa peralihan dari sistim
kerajan kepada sistem Pemerintahan Republik, dimana wilayah Kota Amlapura
sekarang bernama Amlanegantun.
Mula-mula Ibu Kota
Karangasem masih berpusat dengan nama Karangasem pula. Mengingat beberapa
Kabupaten di Bali sudah memiliki Ibu Kota seperti Buleleng dengan Kota
Singaraja - Singa Ambararaja, Jembrana dengan Kota Negara, Badung dengan Ibu Kota Denpasar, maka
dicarilah upaya untuk mencari nama terbaik Ibu Kota Karangasem.
Anak Agung Gde Karang
yang menjadi Bupati saat itu berkonsultasi dengan Ketua DPRD Ida Wayan Pidada,
hingga menemukan nama Amlepure (Amlapura) yang artinya, Amla berarti
buah-buahan, sebagaimana layaknya daerah Karangasem yang memiliki potensi
buah-buahan yang sangat beragam, buah apapun yang ada di Bali di Karangasem pun
ada. Dari asal nama wilayah Amlanegantun dan sebagai pusat buah-buahan yang
beragam, maka lahirlah nama Amlapura (Pura = tempat, Amla = buah).
Nama Amlapura akhirnya
diresmikan sebagai Ibu Kota Kabupaten Karangasem dengan turunnya Kep. Mendagri tanggal 28
Nopember 1970 No. 284 tahun 1970, dan terhitung mulai tanggal 17 Agustus
1970, Kota Karangasem sebagai Ibu Kota
Dati II diubah menjadi Amlapura, bersamaan dengan Upacara Pembukaan Selubung Monument Lambang
Daerah, oleh Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) XV Bali, sebagai Panji
kebanggaan Kabupaten Karangasem di Lapangan Tanah Aron. Dan yang menggembirakan
saat itu Kabupaten Karangasem menerima penghargaan Sertifikat dan Tropy Patung
dan hadiah berupa uang Rp. 200,00 sebagai Kabupaten Terbersih di Bali. Kini
Karangasem pada peringatan hut Kota Amlapura ke-39 juga menjadi Kota Terbersih
tidak hanya se-Propinsi Bali tetapi se-Indonesia dengan meraih Trophy Adipura.
Lambang Daerah diambil
dari simbol Gunung Agung yang mengepulkan asap dengan membentuk Pulau Bali
dengan Tugu Pahlawan di tengah, dikelilingi padi dan kapas menandakan simbol
kemakmuran Gunung Agung dengan Pura Besakih sebagai pusat ritual umat Hindhu
serta memiliki sejarah sebagai daerah perjuangan, murah sandang pangan, gemah
ripah loh jinawi berkat lahar Gunung Agung.
Sedangkan garis merah
merupakan simbol Karangasem ngemong Pura Kiduling Kreteg di Besakih.
Sumber:
http://karangasemkab.go.id/ (Website/Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Karangasem)
Label:
Kabupaten, Bali, Nusa Tenggara
Artikel Terkait:
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar