Recent Post

loading...

Senin, 19 Juni 2017

SEJARAH DAERAH KABUPATEN BULELENG


Tersebutlah Istana Gelgel pada sekitar tahun 1568 dalam suasana tenang, dimana Raja Sri Aji Dalem Sigening menitahkan putranda Ki Barak Sakti, supaya kembali ketempat tumpah darah Bundanya di Den Bukit (Bali Utara). Ki Barak Panji bersama Bunda Sri Luh Pasek, setelah memohon diri kehadapan Sri Aji Dalem lalu berangkat menuju Den Bukit diantar oleh empat puluh orang pengiring Baginda yang dipelopori oleh Ki Kadosot

Perjalanan mereka memasuki hutan lebat sangat mengerikan, udara yang sangat dingin menggigilkan, menembus celah-celah bukit, mendaki Gunung-gunung meninggi, menuruni jurang-jurang curam, dan akhirnya mereka tiba pada suatu tempat yang agak mendatar. Pada tempat itulah mereka melepaskan lelah seraya membuka bungkusan bekal mereka. Sekali mereka makan ketupat, mereka sembahyang, kemudian mereka diperciki air/tirta oleh Sri Luh Pasek, demi keselamatan perjalanannya, belakangan tempat itu diberi nama “YEH KETIPAT”. Rombongan Ki Barak Panji telah tiba di Desa Gendis/Panji dengan selamat.

Tersebutlah Ki Pungakan Gendis, pemimpin desa yang sekali-kali tiada menghiraukan keluh kesah para penduduknya. Ia memerintah hanya semata-mata untuk memenuhi nafsu buruknya, kesenangannya hanyalah bermain judi, terutama sabungan ayam. Oleh karena demikian sikap pemimpin Desa Gendis itu, maka makin lama makin dibenci rakyatnya, dan pada saat terjadi peperangan, ia dibunuh oleh Ki Barak Panji.

Desa Gendis di perintah oleh Ki Barak Panji, seorang pemimpin yang gagah berani, adil dan bijaksana. Ki Barak Panji mendengar adanya kapal layer Tionghoa terdampar, kemudian timbullah rasa belas kasihan untuk menolong pemilik kapal tersebut. Baginda bersama-sama dengan Ki Dumpyung dan Ki Kadosot dapat membantu menyelamatkan kapal layer yang terdampar itu di pantai segara penimbangan. Setelah bantuannya berhasil, baginda mendapat hadiah seluruh isi kapal tersebut berupa barang-barang tembikar seperti piring, mangkok, dan uang kepeng yang jumlahnya sangat besar.

Kepemimpinan Ki Barak Panji makin lama makin terkenal, beliau selalu memperhatikan keadaan rakyatnya, mengadakan pembangunan di segala bidang baik fisik maupun spiritual. Oleh karena demikian maka sekalian penduduk Desa Gendis dan Sekitarnya, secara bulat mendaulat Baginda supaya menjadi Raja, yang kemudian dinobatkan dengan gelar “Ki Gusti Ngurah Panji Sakti”.

Untuk mencari tempat yang agak datar, maka Kota Gendis serta Kahyangan Pura Bale Agung-nya di pindahkan ke Utara Desa Panji. Pada tempat yang baru inilah Baginda mendirikan istana lengkap dengan Kahyangan Pura Bale Agungnya. Guna memenuhi kepentingan masyarakat desanya untuk menghantar persembahyangan di dalam pura maupun upacara di luar pura, serta untuk hiburan-hiburan lainnya, maka Baginda membuat seperangkat gamelan gong yang masing-masing di beri nama sebagai berikut :
· Dua buah gongnya di beri nama Bentar Kedaton
· Sebuah bendennya di beri nama Ki Gagak Ora
· Sebuah keniknya bernama Ki Tudung Musuh
· Teropong bernama Glagah Ketunon
· Gendangnya bernama Gelap Kesanga
· Keseluruhannya bernama “ Juruh Satukad”.

Karena perbawa dan keunggulan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, maka Kyai Alit Mandala, lurah kawasan Bondalem tunduk kepada Baginda. Kemudian atas kebijaksanaanya maka Kyai Alit Mandala, diangkat kembali menjadi lurah yang memerintah di kawasan Bondalem, Buleleng Bagian Timur.

Pada sekitar tahun 1584 Masehi, untuk mencari tempat yang lebih strategis maka Kota Panji dipindahkan kesebelah Utara Desa Sangket. Pada tempat yang baru inilah Baginda selalu bersuka ria bersama rakyatnya sambil membangun dan kemudian tempat yang baru ini di beri nama “SUKASADA” yang artinya selalu Bersuka Ria. Selanjutnya di ceritakan berkat keunggulan Ki Gusti Panji Sakti, maka Kyai Sasangka Adri, Lurah kawasan Tebu Salah (Buleleng Barat) tunduk kepada baginda. Lalu atas kebijaksanaan beliau maka Kyai Sasangka Adri diangkat kembali menjadi Lurah di kawasan Bali Utara Bagian Barat.

Untuk lebih memperkuat dalam memepertahankan daerahnya, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti segera membentuk pasukan yang di sebut “Truna Goak” di Desa Panji. Pasukan ini dibentuk dengan jalan memperpolitik seni permainan burung gagak, yang dalam Bahasa Bali disebut “Magoak-goakan”. Dari permainan ini akhirnya terbentuknya pasukan Truna Goak yang berjumlah 2000 orang, yang terdiri dari para pemuda perwira berbadan tegap, tangkas, serta memiliki moral yang tinggi di bawah pimpinan perang yang bernama Ki Gusti Tamblang Sampun dan diwakili oleh Ki Gusti Made Batan.

Ki Gusti Ngurah Panji Sakti beserta putra-putra Baginda dan perwira lainnya, memimpin pasukan Truna Goak yang semuanya siap bertempur berangkat menuju daerah Blambangan. Dalam pertempuran ini Raja Blambangan gugur di medan perang dengan demikian kerajaan Blambangan dengan seluruh penduduknya tunduk pada Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Berita kemenangan ini segera di dengar oleh Raja Mataram Sri Dalem Solo dan kemudian beliau menghadiahkan seekor gajah dengan 3 orang pengembalanya kepada Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Menundukkan kerajaan Blambangan harus ditebus dengan kehilangan seorang putra Baginda bernama Ki Gusti Ngurah Panji Nyoman, hal mana mengakibatkan Baginda Raja selalu nampak bermuram durjana. Hanya berkat nasehat-nasehat Pandita Purohito, akhirnya kesedihan Baginda dapat terlupakan dan kemudian terkandung maksud untuk membangun istana yang baru di sebelah Utara Sukasada.

Pada sekitar tahun Candrasangkala “Raja Manon Buta Tunggal” atau Candrasangkala 6251 atau sama dengan tahun caka 1526 atau tahun 1604 Masehi, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti memerintahkan rakyatnya membabat tanah untuk mendirikan sebuah istana di atas padang rumput alang-alang, yakni ladang tempat pengembala ternak, dimana ditemukan orang-orang menanam Buleleng. Pada ladang Buleleng itu Baginda melihat beberapa buah pondok-pondok yang berjejer memanjang. Di sanalah beliau mendirikan istana yang baru, yang menurut perhitungan hari sangat baik pada waktu itu, jatuh pada tanggal “30 Maret 1604”.

Selanjutnya Istana Raja yang baru dibangun itu disebut “SINGARAJA” karena mengingat bahwa keperwiraan Raja Ki Gusti Ngurah Pnji Sakti tak ubahnya seperti Singa.

Demikianlah hari lahirnya Kota Singaraja pada tanggal 30 Maret 1604 yang bersumber pada sejarah Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, sedangkan nama Buleleng adalah nama asli jagung gambal atau jagung gambah yang banyak ditanam oleh penduduk pada waktu itu.


SEJARAH DAERAH KABUPATEN BANGLI


Menurut Prasasti Pura Kehen kini tersimpan di Pura Kehen, diceritakan bahwa pada zaman silam didesa Bangli berkembang wabah penyakit yang disebut kegeringan yang menyebabkan banyak penduduk meninggal.Penduduk lainnya yang masih hidup dan sehat menjadi ketakutan setengah mati,sehinnga mereka berbondong-bondong meninggalkan desa guna menghindari wabah tersebut. Akibatnya Desa Bangli menjadi kosong karena tidak ada seorangpun yang berani tinggal disana.
Raja Ida Bhatara Guru Sri Adikunti Ketana yang bertahta kala itu dengan segala upaya berusaha mengatasi wabah tersebut. Setelah keadaan pulih kembali sang raja yang kala itu bertahta pada tahun Caka 1126, tanggal 10 tahun Paro Terang,hari pasaran Maula,Kliwon,Chandra (senin), Wuku Klurut tepatnya tanggal 10 Mei 1204,memerintahkan kepada putra-putrinya yang bernama Dhana Dewi Ketu agar mengajak penduduk ke Desa Bangli guna bersama-sama membangun memperbaiki rumahnya masing-masing sekaligus menyelenggarakan upacara/yadnya pada bulan Kasa, Karo, katiga, Kapat, Kalima, Kalima, Kanem, Kapitu, kaulu, Kasanga, Kadasa, Yjahstha dan Sadha. Disamping itu beliau memerintahkan kepada seluruh pendududk agar agar menambah keturunan di wilayah Pura Loka Serana di Desa Bangli dan mengijinkan membabat hutan untuk membuat sawah dan saluran air. Untuk itu pada setiap upacara besar penduduk yang ada di Desa Bangli harus sembahyang.
Pada saat itu juga, tanggal 10 Mei 1204, Raja Idha Bhatara Guru Sri Adikunti Katana mengucapkan pemastu yaitu:
“Barang siapa yang tidak tunduk dan melanggar perintah, semoga orang itu disambar petir tanpa hujan atau mendadak jatuh dari titian tanpa sebab, mata buta tanpa catok, setelah mati arwahnya disiksa oleh Yamabala, dilempar dari langit turun jatuh ke dalam api neraka”.

Bertitik tolak dari titah-titah Sang Raya yang dikeluarkan pada tanggal 10 Mei 1204, maka pada tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari lahirnya Kota Bangli.

https://banglikab.go.id (Website Resmi Pemerintah Kabupaten Bangli)

Label:
Kabupaten, Bali, Nusa Tenggara


Artikel Terkait:

Selasa, 13 Juni 2017

SEJARAH DAERAH KABUPATEN GIANYAR

Sejarah Kota Gianyar ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar No.9 tahun 2004 tanggal 2 April 2004 tentang Hari jadi Kota Gianyar.

Sejarah dua seperempat abad lebih, tempatnya 245 tahun yang lalu, 19 April 1771, ketika Gianyar dipilih menjadi nama sebuah keraton, Puri Agung yaitu Istana Raja (Anak Agung) oleh Ida Dewa Manggis Sakti maka sebuah kerajaan yang berdaulat dan otonom telah lahir serta ikut pentas dalam percaturan kekuasaan kerajaan-kerajaan di Bali. Sesungguhnya berfungsinya sebuah kerton yaitu Puri Agung Gianyar yang telah ditentukan oleh syarat sekala niskala yang jatuh pada tanggal 19 April 1771 adalah tonggak sejarah yang telah dibangun oleh raja (Ida Anak Agung) Gianyar I, Ida Dewata Manggis Sakti memberikan syarat kepada kita bahwa proses menjadi dan ada itu bisa ditarik kebelakang (masa sebelumnya) atau ditarik kedepan (masa sesudahnya).

Berdasarkan bukti-bukti arkeologis. di wilayah Gianyar sekarang dapat diinterprestasikan bahwa munculnya komunikasi di Gianyar sejak 2000 tahun yang lalu karena diketemukannya situs perkakas (artefak) berupa batu, logam perunggu yaitu nekara (Bulan Pejeng), relief-relief yang menggambarkan kehidupan candi-candi atau goa-goa di tebing-tebing sungai (tukad) Pakerisan.

Setelah bukti-bukti tertulis ditemukan berupa prasasti diatas batu atau logam terindetifikasi situs pusat-pusat kerajaan dari dinasti Warmadewa di Keraton Singamandawa, Bedahulu. Setelah ekspedisi Gajah Mada (Majapahit) dapat menguasai Pulau Bali maka di bekas pusat markas laskarnya dirikan sebuah Keraton Samprangan sebagai pusat pemerintahan kerajaan yang dipegang oeleh Raja Adipati Ida Dalem Krena Kepakisan (1350-1380), sebagai cikal bakal dari dinasti Kresna Kepakisan, Kemudian Keraton Samprangan berusia lebih kurang tiga abad. Lima Raja Bali yang bergelar Ida Dalem Ketut Ngulesir (1380-1460),2) Ida Dalem Waturenggong (1460-1550),3) Ida Dalem Sagening (1580-1625) dan 5) Ida Dalem Dimade (1625-1651). Dua Raja Bali yang terakhir yaitu Ida Dalem Segening dan Ida Dalem Dimade telah menurunkan cikal bakal penguasa di daerah-daerah. Ida Dewa Manggis Kuning (1600-an) penguasa di Desa Beng adalah cikal bakal Dinasti Manggis yang muncul setelah generasi II membangun Kerajaan Payangan (1735-1843). Salah seorang putra raja Klungkung Ida Dewa Agung Jambe yang bernama Ida Dewa Agung Anom muncul sebagai cikal bakal dinasti raja-raja di Sukawati (1711-1771) termasuk Peliatan dan Ubud. Pada periode yang  sama yaitu periode Gelgel muncul pula penguasa-penguasa daerah lainnya yaitu I Gusti Ngurah Jelantik menguasai Blahbatuh dan kemudian I Gusti Agung Maruti menguasai daerah Keramas yang keduanya adalah keturunan Arya Kepakisan.

Dinamika pergumulan antara elit tradisional dari generasi ke generasi telah berproses pada momentum tertentu, salah seorang diantaranya sebagai pembangunan kota keraton atau kota kerajaan pusat pemerintahan kerajaan yang disebut Gianyar. Pembangunan Kota kerajaan yang berdaulat dan memiliki otonomi penuh adalah Ida dewa Manggis Sakti, generasi IV dari Ida Dewa Manggis Kuning. Sejak berdirinya Puri Agung Gianyar 19 April  1771 sekaligus ibu kota Pusat Pemerintah Kerajaan Gianyar adalah tonggak sejarah. Sejak itu dan selama periode sesudahnya Kerajaan Gianyar yang berdaulat, ikut mengisi lembaran sejarah kerajaan-kerajaan di Bali yangterdiri atas sembilan kerajaan di Klungkung, Karangasem, Buleleng, Mengwi, Bangli, Payangan, Badung, Tabanan, dan Gianyar. Namun sampai akhir abat ke-19, setelah runtuhnya Payangan dan Mengwi di satu pihak dan munculnya Jembrana dilain pihak maka Negaraa): Klungkung, Karangasem, Bangli dan Gianyar (ENI, 1917).

Ketika Belanda telah menguasai seluruh Pulau Bali, Kedelapan bekas kerajaan tetap diakui keberadaannya oleh Pemerintah Guberneurmen namun sebagai bagian wilayah Hindia Belanda yang dikepalai oleh seorang raja (Selfbestuurder) di daerah Swaprajanya masing-masing. Selama masa revolusi, ketika daerah Bali termasuk dalam wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) otonomi daerah kerjaan (Swapraja) kedalam sebuah lembaga yang disebut Oka, Raja Gianyar diangkat sebagai Ketua Dewan Raja-raja menggantikan tahun 1947. Selain itu pada periode NTT dua tokoh lainnya yaitu Tjokorde Gde Raka Sukawati (Puri Kantor Ubud) menjadi Presiden NIT, dan Ida A.A. Gde Agung (Puri Agung Gianyar) menjadi Perdana Menteri NIT, Ketika  Republik Indonesia Serikat (RIS) kembali ke Negara Kesatuan (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, maka daerah-daerah diseluruh Indonesia dengan dikeluarkan Undang-undang N0. I tahun 1957, yang pelaksanaannya diatur dengan Undang-Undang No.69 tahun 1958 yang mengubah daerah Swatantra Tingkat II (Daswati II). Nama Daswati II berlaku secara seragam untuk seluruh Indonesia sampai tahun 1960. Setelah itu diganti dengan nama Derah Tingkat II (Dati II).

Namun Bupati Kepala Derah Tingkat II untuk pertama kalinya dimilai pada tahun 1960. Bupati pertama di DatiII Gianyar adalah Tjokorda Ngurah (1960-1963). Bupati berikutnya adalah Drh. Tjokorda Anom Pudak (1963-1964) dan Bupati I Made Sayoga, BA (1964-1965).

Ketika dilaksanakannya Undang-Undang No. 18 tahun 1965, maka DATI II diubah dengan nama Kabupaten DATI II. Kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.5 tahun 1974 yang menggantikan nama Kabupaten. Kepala daerahnya tetap disebut Bupati.

Sejak tahun 1950 sampai sekarang yang hampir lima dasawarsa lebih telah tercatat sebelas  orang Kepala Pemerintahan/Bupati Gianyar yaitu: 
1. A.A. Gde Raka (1950-1960),
2) Tjokorde Ngurah (1960-1963),
3) Drh. Tjokorde Dalem Pudak (1963-1964), 
4) I Made Sayonga (1964-1965),
5) Bupati I Made Kembar Kerepun (1965-1969), 
6) Bupati A.A. Gde Putra, SH (1969-1983), 
7) Bupati Tjokorda Raka Dherana, SH (1983-1993), 
8) Bupati Tjokorda Gde Budi Suryawan, SH (1993-2003),  
9) Bupati A.A.G. Agung Bharata, SH (2003-2008),  
10) Bupati  DR.Ir.Tjokorda Gde Oka Arta Ardhana Sukawati, M.Si (2008-2013) dan 
11) Bupati A.A.G.Agung Bharata, SH (2013-2018).  
Dari sisi otonomi jelas nampak, proses perkembangan yang terjadi di Kota Gianyar. Otonomi dan berdaulat penuh melekat pada Pemerintah kerjaan sejak 19 April 1771 kemudian berproses sampai otonomi Daerah di Tingkat II Kabupaten yang diberlakukan sampai sekarang.

Berbagai gaya kepemimpinan dan seni memerintah dalam sistem otonomi telah terparti di atas lembaran Sejarah Kota Gianyar. Proses dinamika otonomi cukup lama sejak 19 April 1771 sampai 19 April 2016 saat ini, sejak kota keraton dibangun menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang otonomi sampai sebuah kota kabupaten, nama Gianyar diabadikan. Sampai saat ini telah berusia 245 tahun, para pemimpin wilayah kotanya, dari raja (kerajaan) sampai Bupati (Kabupaten), memilikiciri dan gaya serta seni memerintah sendiri-sendiri di bumi seniman. Seniman yang senantiasa membumi di Gianyar dan bahkan mendunia.

Sumber : https://www.gianyarkab.go.id (Website/Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Gianyar)


Label:
Kabupaten, Bali, Nusa Tenggara


Artikel Terkait: